Berusahalah Menjadi Para Pengikut Sejati Imam Mahdi!

Moha Mahmud & H. Ali Azhim

Kita semua tahu bahwa Imam Kedua Belas (semoga Allah mempercepat kehadirannya) sudah hidup lebih dari 1177 tahun dan tetap dalam kegaiban. Beliau tidak akan hadir secara fisik dalam kehidupan kita sampai kita siap? Apakah yang tengah kita lakukan itu salah sehingga Imam tetap dalam kegaiban dan tidak dapat dilihat dalam kehidupan kita?

Baca entri selengkapnya »

“KEMULIAAN AKHLAK TUJUAN PARA NABI, BUKAN SEKADAR ILMU”

Menurut Kantor Berita ABNA, Ayatullah Al Uzhma Luthfullah Shafi Ghulpagani dalam pertemuannya dengan sejumlah budayawan di kota Busyhahr Republik Islam Iran menyatakan bahwa tidak ada satupun ilmu dan ma’rifat yang lebih mulia dan lebih agung dari ma’rifat dan hidayah Ahlul Bait As. Beliau berkata, “Manusia jika menginginkan budaya yang sebenarnya, maka ia harus mencarinya dalam petunjuk Al-Qur’an lalu setelah itu petunjuk dari Ahlul Bait, misalnya dalam Nahjul Balaghah, Shahifah Sajjadiyah dan perkataan-perkataan Ahlul Bait lainnya.” Baca entri selengkapnya »

“KEMULIAAN AKHLAK TUJUAN PARA NABI, BUKAN SEKADAR ILMU”

Menurut Kantor Berita ABNA, Ayatullah Al Uzhma Luthfullah Shafi Ghulpagani dalam pertemuannya dengan sejumlah budayawan di kota Busyhahr Republik Islam Iran menyatakan bahwa tidak ada satupun ilmu dan ma’rifat yang lebih mulia dan lebih agung dari ma’rifat dan hidayah Ahlul Bait As. Beliau berkata, “Manusia jika menginginkan budaya yang sebenarnya, maka ia harus mencarinya dalam petunjuk Al-Qur’an lalu setelah itu petunjuk dari Ahlul Bait, misalnya dalam Nahjul Balaghah, Shahifah Sajjadiyah dan perkataan-perkataan Ahlul Bait lainnya.” Baca entri selengkapnya »

Buku Baru: Syi’ah: Ajaran & Praktiknya

 

 

 

Image

Judul                : Syi’ah: Ajaran & Praktiknya

Penulis             : Ja’far Subhani

Penerjemah    : Ali Yahya & Heydar Ali Azhim

Penyunting      : Dede Azwar Nurmansyah

Penerbit          : Nur Al-Huda

Tebal               : 300 halaman

Ukuran             : 15.5 x 23.5

Harga              : Rp 45.000,-

 

Di Barat, kajian Syi’ah mengalami peningkatan yang luar biasa sejak merebaknya revolusi Islam Iran. Ini terbukti dengan banyaknya publikasi sejumlah buku dan artikel terkait ajaran ini. Kebanyakan studi yang dikembangkan dalam terbitan-terbitan tersebut terfokus pada pertumbuhan Syi’ah secara historis, perbedaan antara Syi’ah dan Ahlusunnah, atau perilaku politik Syi’ah dalam konteks politik kekerasan. Di Indonesia, pada awalnya tren seperti itu tampak pada buku Dialog Sunnah-Syi’ah karya Syarafuddin Musawi, Syi’ah: Asal Usul Pertumbuhan dan Perkembangannya karya Allamah Thabathaba’i, dan Ikhtilaf Sunnah-Syi’ah karya Syarafuddin Musawi, sekitar 1980-an. Baru kemudian, bermunculan topik-topik yang beragam yang lebih membahas dapur keilmuan Syi’ah seperti Fikih Ja’fari, 40 Hadis, dan lain-lain.

Buku ini merupakan pengecualian yang berharga. Penulisnya adalah Ayatullah Ja’far Subhani, seorang mufasir, penulis prolifik, penulis biografi Rasulullah saw (Risalah; the Message: The Holy Prophet of Allah) dan Imam Ali (Furugh-I vilayat). Baca entri selengkapnya »

Seperti Inilah Ayatullah Khamenei Mensifati Nabi Saw

Tidak syak lagi, meneladani seluruh segi dan aspek kehidupan Rasulullah Saw merupakan kewajiban setiap Muslim, karena tanpa meneladani prilaku dan ahlak beliau seseorang tidak akan mampu mencapai kesempurnaan yang menjadi tujuan penciptaannya. Tentu saja, setiap pribadi memiliki derajat kesempurnaan dan kapasitas yang berbeda, oleh karenanya, yang dituntut dari seorang Muslim ialah mengikuti sirah Nabinya Saw sesuai kemampuan dan kapasitas dirinya.

Untuk meneladani manusia termulia kecintaan ilahi ini, haruslah diawali dengan makrifat atas kehidupan dan pribadi sucinya, semangkin besar makrifat seseorang terhadapnya, maka semangkin besar pula potensi jiwanya untuk menyerap sifat-sifat mulia yang dimilikinya. Atas dasar ini, dalam tulisan ini kita akan menyimak sifat-sifat agung Nabi besar kita dari lisan Pemimpin Besar Revolusi Islam, Ayatullah Khamenei (Semoga Allah Swt menjaganya).

Dalam beberapa ceramah dan nasihat beliau, terdapat beberapa poin sekaitan dengan kriteria dan akhlak Rasulullah Saw yang di antaranya ialah sebagai berikut:

1. Kewajiban setiap Muslim dalam meneladani perilaku Rasulullah Saw
Sekaitan dengan pribadi agung Rasulullah Saw dan kewajiban kaum Muslimmin untuk mengikuti prilaku beliau, Ayatullah Khamenei mengatakan: “Rasulullah Saw selain memiliki keistimewaan maknawi, hubungan dengan alam ghaib dan derajat yang tinggi, dimana orang seperti saya tidak akan mampu memahaminya, beliau pun –dari sisi insaniah- merupakan manusia yang luar biasa dan tidak ada bandingannya. Beliau Saw adalah pribadi yang sangat agung dengan kapasitas [maknawi] yang tidak terbatas yang memiliki akhlak dan prilaku yang sangat istimewa. Beliau adalah penghulu para wali dan nabi Allah Swt. Kita sebagai kaum Muslimin berkewajiban untuk meneladani pribadi agung beliau, dalam hal ini Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu[1]”. Kita memiliki kewajiban untuk mengikuti Rasullullah Saw tidak hanya dalam melaksanakan –beberapa rakaat- shalat, akan tetapi, dalam ucapan, tindakan, berinteraksi dan prilaku keseharian kita pun harus mengikuti beliau. Oleh karena itu, kita harus mengenal kepribadian beliau.

Dengan mempelajari ucapan-ucapan Ayatullah Khamenei, kita dapat mengetahai bahwa beliau merasa prihatin akan kondisi kaum Muslimin yang tidak lagi mentaati Rasul Saw secara mutlak. Oleh karenanya, dimata beliau, meneladani Rasulullah Saw di seluruh dimensi kehidupan kita adalah sebuah kewajiban.

2. Kewajiban para penulis dan dai untuk menjelaskan kepribadian agung Rasulullah Saw
Ayatullah Khamenei mewaisatkan kepada para penulis dan penceramah untuk meneliti lebih dalam kehidupan Rasulullah Saw, menurut penilaian beliau upaya yang saat ini telah dilakukan belumlah mencukupi. Dalam hal ini belia mengatakan: “Pembahasan akan pribadi Rasulullah Saw dan penjelasan mengenai sisi-sisi kehidupan beliau masih relatif sedikit. Masih banyak orang yang tidak mengenal sebagaimana mestinya kehidupan manusia termulia di alam semesti ini. Tidak dalam akhlak, juga tidak dalam prilaku individu dan sosial beliau. Sesungguhnya seluruh kriteria baik pribadi seorang yang agung, ada pada diri beliau. Sungguh, seorang akan membutuhkan waktu berjam-jam untuk membicarakan keutamaan akhlak beliau.

3. Kewajiban para ilmuan dalam memperkenalkan kehidupan Rasulullah Saw kepada maysarakat.
Dalam banyak kesempatan, Ayatullah Khamenei acap kali menuturkan berbagai sisi akhlak Rasulullah Saw, beliau mengajak seluruh umat Islam untuk mengikuti dan meneladani akhlak Rasul terakhir ini. Di antara beberapa sifat mulia Rasul yang beliau sebutkan ialah sebagai berikut:

A. Jujur
Sekaitan dengan hal ini Ayatullah Khamenei mengatakan: “Kejujuran dan sifat menjaga amanat beliau (Rasulullah Saw) betapa besarnya sehingga pada masa Jahiliyah beliau dijuluki al-Amin (orang yang sangat dipercaya). Masyarakat Arab biasa menitipkan barang berharga yang mereka miliki kepada beliau dan mereka yakin bahwa barang yang mereka titipkan itu akan kembali ke tangan mereka sebagaimana semula. Bahkan setelah beliau memulai dakwah Islam sekalipun, dan mayoritas masyarakat Quraisy memusuhinya, mereka –termaksud orang-orang yang memusuhinya- masih mempercayainya dan tetap menitipkan barang berharga mereka kepada beliau.”

B. Sabar dan toleran
Dalam pandangan Ayatullah Khamenei, kesabaran Rasulullah Saw sangat luar biasa. Menurut beliau, jika kaum Muslimin meneladani sifat Rasul Saw yang mulia ini, maka akan banyak problematika yang dapat diselesaikan. Beliau mengatakan: “Kesabaran beliau (Rasulullah Saw) sampai pada taraf dimana beliau mampu menahan diri dalam menghadapi perkara tertentu dimana orang lain tidak akan mampu melakukannya jika perkara tersebut menimpanya. Terkadang musuh-musuh beliau –di kota Makkah- melakukan tindakan-tindakan buruk terhadap beliau, dimana saat paman beliau Abu Thalib dan Hamzah ra mendengarnya, maka mereka akan mereaksi keras perlakuan mereka itu, namun Rasulallah Saw dengan penuh kesabaran mampu menghadapi berbagai tidakan buruk tersebut.”

C. Pemaaf
Ayatullah Khamenei memandang bahwa sifat pemaaf Rasulullah Saw adalah sifat yang paling menonjol dari pribadi beliau. Saat menjelaskan mengenai sifat ini, beliau mengatakan: “Rasulullah Saw adalah seorang yang sangat pemaaf, sifat ini sedemikian agung sehingga beliau sering kali memaafkan musuh-musuh pribadinya. Setiap beliau menyaksikan seorang yang terzlimi, beliau tidak akan meninggalkannya sebelum beliau menolongnya. Seringkali beliau memperlakukan musuh-musuh yang telah beliau tundukkan dengan perlakuan [baik] yang mereka (para musuh) sama sekali tidak dapat memahaminya, contohnya adalah apa yang beliau lakukan setelah fathu Makkah dimana beliau bersabda: “Hari ini adalah hari pemberian maaf dan pengampunan[2].” Oleh karena itu, beliau tidak melakukan balas dendam terhadap musuh-musuh beliau. Beginilah sifat pemaaf manusia agung ini.”

D. Ketulusan Hati
Saat menuturkan sifat ini, Ayatullah Khamenei membawakan kisah perdagangan Rasulullah Saw yang beliau lakukan sebelum beliau diutus menjadi seorang nabi. Seraya mengatakan: “Pada masa Jahiliyah, beliau Saw melakukan perdagangan dan memiliki beberapa teman (patner) dalam perdagangan. Setelah beberapa tahun, salah satu dari teman beliau tersebut menceritakan pengalamannya [bersama beliau] dan mengatakan bahwa beliau adalah teman [berdagang] yang paling baik, beliau tidak keras kepala dan juga tidak suka berdebat (saat transaksi), beliau pun tidak pernah merugikan patner dagangnya dan tidak berbohong kepada pelanggannya. Beliau benar-benar seorang yang tulus.

E. Menjaga kerapihan dan kebersihan
Kriteria Rasulullah Saw ini memiliki efek dan pengaruh yang luar biasa, dalam menjelaskan sisi ini Ayatullah Khamenei mengucapkan: “Sejak kecil beliau sangat bersih. Di masa remaja, beliau selalu merapihkan rambut beliau. Kemudian di masa muda, selain merapihkan rambut, beliau pun selalu merapihkan janggutnya. Setelah Islam [tersebar] dan beliau telah menginjak usia lanjut, beliau tetap sangat memperhatikan masalah kebersihan. Betul, baju beliau adalah baju lama dan [terkadang] terdapat jahitan di dalamnya, namun baju beliau sangatlah bersih.” Ayatullah Khamenei melanjutkan: “Semua ini sangat berpengaruh dalam aktifitas, pergaulan dan kesehatan seseorang. Perkara-perkara yang tampak remeh ini memiliki pengaruh besar dalam jiwa seseorang.”

F. Ramah
Ungkapan Ayatullah Khamenei mengenai sifat ramah Rasulullah Saw terhadap masyarakat di sekitarnya sangatlah menarik, beliau mengatakan: “Prilaku Rasulullah Saw terhadap masyarakat sangatlah baik, beliau selalu tersenyum di depan mereka. Kesedihan beliau hanya akan tampak saat beliau sedang sendiri. Beliau selalu memberikan salam kepada setiap orang yang beliau temui dan akan melarang siapa saja yang mencela atau berkata buruk kepada selainnya. Beliau sendiri pun tidak pernah menghina atau berkata buruk kepada orang lain, wajah beliau selalu ceria di hadapan orang-orang miskin dan kaum papa, tidak jarang beliau bergurau dengan para sahabatnya.”

G. Senantiasa beribadah
Meskipun tidak akan ada seseorang yang akan menyamai Rasulullah Saw dalan beribadah –baik dari kualitas ataupun kuantitasnya-, akan tetapi, menurut Ayatullah Khamenei umat Islam pun harus mengikuti sisi maknawi Nabi Saw ini. Beliau mengatakan: “Rasulullah Saw sangat menyukai ibadah sampai-sampai kedua kaki beliau tampak membengkak karena sering berdiri di mihram untuk beribadah. Waktu malamnya, banyak beliau habiskan untuk shalat, munajat, menangis, beristighfar dan berdoa. Saat menjawab para sahabat yang bertanya kepada beliau: Wahai Rasulullah, bukankah anda tidak memiliki dosa, lantas untuk apa anda melakukan ibadah, doa dan istghfar semua ini? Rasul Saw menjawab: Apakah aku tidak harus berterimakasih kepada Allah Swt atas segala nikmat yang telah Dia berikan kepadaku ini?[3].”

H. Keteguhan hati (istiqamah)
Menurut pandangan Ayatullah Khamenei rahasia keberhasilah Rasulullah Saw dalam dakwah beliau di tanah Hijaz ialah keteguhan hati beliau. Mengenai hal ini beliau mengatakan: “Keteguhan hati Rasulullah Saw sedemikian tinggi sehingga di sepanjang sejarah tidak ada seorang pun yang mampu menyaingi beliau. Sifat tersebut sedemikian agung sehingga beliau mampu membangun pondasi yang kokoh bagi agama Ilahi ini. Dengan keteguhan hati ini, di kawasan yang sama sekali orang tidak pernah membayangkannya, di tengah-tengah sahara yang tandus Hijaz, beliau mampu membangun peradaban yang abadi.”

Beberapa kepribadian dan akhlak Rasulullah Saw yang sangat mulia ini merupakan pelajaran yang sangat berharga untuk seluruh kaum Muslimin. Manusia yang mencari kebenaran dan keadilan akan berupaya untuk meneladani sifat-sifat ini. Umat Islam yang pada masa ini lebih membutuhkan keadilan, peraihan hakikat dan persatuan di antara mereka dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, dengan meneladani norma dan akhlak mulia nabi mereka Saw, maka akan banyak permasalahan individul dan sosial yang dapat mereka selesaikan.

Selain sisi pribadi kehidupan Rasullullah Saw, dalam berbagai kesempatan lainnya tidak jarang Ayatullah Khamenei menyoroti kebijakan-kebijakan Rasulullah Saw dalam permasalahan sosial dan politik. Selama berkuasa dan memimpin pemerintahan Islam pertama di kota Madinah banyak sekali kebijakan-kebijakan politik Rasulullah Saw yang dapat dijadikan sebagai teladan dan pedoman oleh kaum Muslimin khususnya para penguasa dan pemimpn dari mereka. Oleh sebab ini, menurut Ayatullah Khamenei sebagaimana aspek individu Rasulullah Saw, aspek sosial dan politik beliau pun harus selalu dipelajari dan disebarluaskan kepada umat Islam, agar mereka dapat meneladaninya.

Secara ringkas, terdapat beberapa aspek sosial-politik kehidupan Rasulullah Saw yang terpenting yang dapat kita tarik dari ucapan-ucapan berharga Pemimpin Besar Revolusi Islam ini, yang diantaranya ialah:

1. Ahli dan bijaksana
Rasulullah Saw memiliki Kebijakan-kebijakan politik yang sangat mengagumkan sepanjang sejarah. Sekaitan dengan ini Ayatullah Khamenei mengatakan: “Barang siapa yang mempelajari sejarah hijrah dan masuknya Rasulullah Saw ke kota Madinah, setiap peperangan yang beliau pimpin, strategi beliau dalam memancing musuh (kafir Qurays) dari kota Makkah ke kawasan sahara (saat berperang), pelbagai serangan dan propaganda yang musuh lakukan dan sikap beliau saat menghadapi lawan-lawannya, maka ia akan menyaksikan kebijakan dan keahlian beliau yang mengagumkan dalam mengatur segala urusan pemerintahan.”

2. Konsinten dan patuh di hadapan undang-undang
Seorang yang mempelajari sirah Rasulullah Saw akan merasa takjub saat menyaksikan sikap patuh beliau di hadapan undang-undang di saat beliau kuasa untuk tidak mematuhinya. Dalam menjelaskan aspek ini, Ayatullah Khamenei menuturkan: “Beliau senantiasa menjaga dan patuh terhadap undang-undang, beliau tidak akan membiarkan seorang pun melanggarnya, baik bagi dirinya maupun orang lain. Beliau memandang dirinya pun wajib mentaati segala aturan yang berlaku. Hal ini juga dikuatkan dengan ayat al-Quran, setiap hukum dan undang-undang yang wajib dijalankan oleh umat Islam, beliau pun harus menjalankannya dan tidak boleh melanggarnya.”

3. Menepati perjanjian dan menjaga Rahasia
Kebijakan ini bisa jadi secara politis dipandang tidak menguntunkan, akan tetapi, Nabi Muhammad Saw dengan segala kesibukannya dalam mengatur pemerintahan, beliau tetap memperhatikan dan menjaga perkara ini. Ayatullah Khamenei dalam menjelaskan prilaku yang agung ini mengatakan: “Salah satu kebijakan beliau dalam aspek politik, beliau senantiasa menepati perjanjian yang telah disepakati, satu kali pun beliau tidak pernah melanggar penjanjian yang telah beliau tandatangani. Meskipun beberapa kali orang-orang kafir Quraisy telah melanggar perjanjian, namun beliau tetap menjaganya. Selain itu, beliau pun (dalam strategi berperang) seorang yang pintar menjaga rahasia. Saat beliau bersama pasukannnya bergerak untuk menaklukkan kota Makkah, tidak ada seorang pun yang mengetahui apa tujuan beliau mengerahkan pasukannya dan tempat manakan yang beliau tuju. Dengan strategi tersebut, beliau berhasil memperdaya kelommpok kafir Quraisy sehingga mereka tidak mengetahui bahwa beliau beserta pasukannya sedang menuju kota Makkah.

4. Memperlakukan musuh dengan perlakuan yang berbeda
Sangat sulit bagi seseorang untuk memperlakukan musuh-musuhnya dengan perlakuan yang berbeda-beda. Umumnya seseorang akan memukul rata dan bersikap sama terhadap semua orang yang memusuhinya, namun tidak demikian dengan Nabi mulia kita Saw. Saat menjelaskan perkara ini Ayatullah Khamenei mengungkapkan dengan sangat menarik, “Rasululullah Saw tidak memandang musuh-musuh beliau dengan pandangan yang sama, hal ini merupakan pelajaran penting dari kehidupan beliau. Sebagian musuh beliau memiliki permusuhan yang dalam terhadap beliau, namun beliau mengetahui bahwa permusuhan mereka tidak memiliki dampak negatif yang berarti, dalam hal ini beliau pun akan memberi keringanan kepada mereka. Sebagian lain dari musuh beliau senantiasa hendak melakukan propaganda terhadap Islam, dalam menghadapi kelompok ini, beliau memerintahkan sebagian sahabatnya untuk mengawasi gerak-gerik mereka. Sebagian lagi dari musuh beliau sangat berbahaya bagi Islam dan kaum Muslimin, dalam menghadapi mereka, beliau akan bersikap tegas dan keras. Hal ini sebagaimana yang beliau lakukan terhadap [kaum Yahudi] Bani Quraidhah, dimana beliau memerintahkan untuk menghukum mati mereka dalam waktu satu hari, demikian pula Bani Qunaiqa yang beliau perintahkan agar mereka diusir dari tempat tinggal mereka, demikan halnya dengan Yahudi Khaibar yang beliau perintahkan untuk diperangi dan dikuasai. Kebijakan tegas ini beliau lakukan karena keberadaan mereka (tiga suku Yahudi ini) benar-benar membahayakan Islam dan kaum Muslimin.” (IRIB Indonesia/Taqrib/SL)

Catatan:

[1] QS. Al-Ahzab: 21.

[2] Allamah Majlisi: Bihâr al-Anwâr, jld. 12 hlm. 902, bab. 62.

[3] Kulaini: Ushûl al-Kâfî, jld. 2, hlm. 59, Hadis No” 6, bab. As-Syukr.

Bedah Buku: Penebar Rahmat

 

 

 

 

ImageJudul               : Penebar Rahmat: Muhammad Menurut Muhammad

Penulis             : Muhammad Rey Syahri

Penerjemah      : Irwan Kurniawan

Penyunting      : Abdul Rauf

Penerbit           : Al-Huda

Tebal               : 292 halaman

Harga              : Rp 42.500,-

 

Dalam pandangan-dunia Islam, semua keberadaan merupakan ayat-ayat Allah (âyâtullah) dan ayat Allah yang paling sempurna adalah Muhammad Rasulullah Saw. Ada firman Allah Swt yang mengatakan apabila seluruh pohon dijadikan pena dan lautan sebagai tintanya, niscaya itu tidak akan mampu untuk menuliskan keagungan Allah Swt. Demikian pula, ketika kita ingin menuliskan keagungan Rasulullah Saw, sebagaimana manifestasi paling sempurna dari keagungan Allah, semuanya itu hanya akan menyinggung sisi tertentu dari keberadaan dan kepribadian  Nabi Terakhir ini. Tak heran, hampir setiap tahun senantiasa ada buku yang menggambarkan Rasulullah Saw. Mulai yang ditulis untuk anak-anak hingga orang tua, ditulis oleh non-muslim hingga muslim sendiri.

 

Dan, penulisan biografi Muhammad Saw ini pun bermacam-macam pendekatannya, seperti Annemarie Schimmel menggunakan pendekatan fenomenologis ketika menulis buku Dan Muhammad Utusan Allah, Syekh Ja`far Subhani menggunakan pendekatan kritik historis saat mengeluarkan karyanya The Message (Risalah),  Syekh Jawadi Amuli menggunakan pendekatan filosofis-teologis ketika mengeluarkan karyanya yang berjudul Nabi dalam Al-Quran, belum lagi Seyyed Hossein Nasr serta beberapa penulis prolific lainnya. Semuanya itu membenarkan bahwa berbicara tentang Muhammad Saw senantiasa memiliki keunikan masing-masing.

 

Bagaimana halnya dengan buku ini?

 

Buku ini sesungguhnya lahir dari pencanangan “Tahun Nabi yang Agung, Muhammad”, sekitar enam tahun lalu, oleh Pemimpin Spiritual Tertinggi Iran Sayyid Ali Khamenei yang mengajak seluruh lapisan masyarakat Islam untuk memperkenalkan pribadi teragung ini kepada Dunia Islam secara khusus dan masyarakat dunia secara umum. Boleh jadi salah satu alasan pencanangan “Tahun Nabi yang Agung” itu karena tahun-tahun sebelumnya masyarakat Barat (khususnya) berusaha mendevaluasi keagungan Rasulullah Saw sampai-sampai pribadi termulia dijadikan sebagai olok-olok kartun.

 

Dalam pengantarnya untuk buku Penebar Rahmat ini, Muhammad Rey Syahri mengatakan, “Untuk menghadapi konspirasi dan perang budaya ini, kita harus bisa menggunakan kesempatan yang bernilai ini untuk memperkenalkan berbagai dimensi dari kepribadian Rasulullah Saw secara benar…” (hal.20)

 

Sesuai dengan judulnya, penulis memang menekankan aspek moralitas Nabi Agung Saw ini. Rahmat atau kasih sayang sesungguhnya merupakan bagian dari akhlak sementara kesempurnaan akhlak amerupakan misi kenabian dari Muhammad Saw. Karenanya, buku Penebar Rahmat diawali dengan kesaksian al-Quran terhadap kenabian Rasulullah, kesaksian para ahli ilmu hingga hikmah dan falsafah kenabian.

Menurut Rey Syahri , “Mengetahui hikmah yang terkandung di balik pengutusan Rasulullah saw dipandang sebagai tema terpenting yang berkaitan dengan pengetahuan terhadap kepribadian Nabi saw. Hikmah yang terkandung di balik pengutusan Nabi saw pada dasarnya tidak berbeda dengan pengutusan para nabi yang lain. Perbedaan satu-satunya adalah penutup para nabi ini menyempurnakan risalah-risalah nabi-nabi yang terdahulu. Oleh karena itu, kenabiannya merupakan penutup kenabian.”  (hal.34)

Dalam falsafah kenabian itu sendiri, menurut pandangan Tuhan, ada tiga pilar yang harus diperhatikan: (1) falsafah penciptaan manusia, yaitu membawanya menuju kesempurnaan; (2) dalil penyempurnaan tidak ada dalam eksistensi manusia; (3) hanya Pencipta alam semesta ini yang mampu memberikan program penyempurnaan manusia karena Dia yang benar-benar mengetahui kesiapan dan kebutuhan manusia.

Turunnya Rasul Saw disertai dengan al-Quran, yang salah satu kandungannya merupakan sekumpulan titah akhlak dan petunjuk moralitas. Dalam al-Quranlah, manusia akan mendapatkan banyak penjelasan tentang hikmah pengutusan para nabi di antaranya membebaskan manusia dari belenggu-belenggu internal dan eksternal, mengeluarkan manusia dari kegelapan (kebodohan), mengajarkan al-Quran dan Hikmah (Sunnah), menerangi alam semesta ini dengan cahaya ilmu, membangun moral masyarakat, dan mewujudkan keadilan sosial. Kesemuanya ini merupakan fondasi penting dalam membangun sebuah masyarakat dan penerapan program penyempurnaan yang dilakukan para beliau.

 

Karenanya, adalah tepat bagi kita sebagai pembaca untuk membaca kembali karya-karya terkait dengan Rasulullah Saw ini, khususnya di bulan-bulan kelahirannya, Rabiul Awal. Apabila pembaca sudah memiliki karya terbaru dari Karen Armstrong—mantan biarawati yang kini mengaku sebagai “freelance monotheist”—yang berjudul Muhammad: Prophet For Our Time, segeralah Anda membaca buku Penebar Rahmat ini. Kami sarankan demikian, karena buku ini memuat bagaimana pandangan al-Quran dan Ahlulbait terhadap pribadi agung Muhammad Saw ini. Apabila pembaca menemukan kemuskilan-kemuskilan dalam buku biografi Muhammad yang ditulis oleh para pemikir Barat, terutama yang terkait dengan akhlaknya,  segeralah merujuk ke buku karya Rey Syahri ini. Buku yang terdiri enam bab plus pengantar ini, insya Allah akan menjawab kemuskilan-kemuskilan tersebut termasuk falsafah kenabian yang semakin hari mendapat tantangan yang keras. Selamat menyimak! (Arif Mulyadi)

 

Tentang Merasa Aman dari Siksa Allah

(Tulisan ini kami nukil dari buku Dosa-Dosa Besar karya Dasteghib, terbitan Cahaya, mengingat relevansinya dengan fenomena dunia sekarang. Bahkan selalu relevan. Semoga berkah Imam Husain as kita peroleh dengan merenungi tulisan ini)

Tidak Memperhatikan Kemarahan dan Siksa Allah
SALAH satu dari dosa-dosa besar adalah pengabaian total terhadap azab Tuhan. Orang tersebut tidak takut pada siksa gaib dan mencemooh gagasan hukuman atas tindakannya. Ia hidup dengan penuh gembiraa di dunia kenyamanan-kenyamanan material dan tidak menyadari bahwa ia dibelenggu bawah oleh dosa-dosanya. Ini merupakan dosa besar. Para imam suci, Imam Jafar Shadiq, Imam Musa Kazhim, dan Imam Ridha, telah mengelompokkan ketidaktakutan pada siksa Allah termasuk dosa-dosa besar. Al-Quran menyatakan, Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? (QS al-A’raf: 97)
Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? (QS al-A’raf: 98)
Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (QS al-A’raf : 99)
Tiga ayat ini secara jelas melarang ketidaktakutan pada azab Allah. Ayat terakhir menyebutkan bahwa mereka yang tidak takut pada azab Allah adalah orang-orang yang merugi di akhirat. Azab Allah adalah balasan pada mereka di Hari Kiamat, seperti halnya nasib bagi orang-orang kafir dan para pendosa yang tidak bertaubat.
Adalah jelas dari al-Quran bahwa bersikukuh untuk tidak mengindahkan rencana Allah merupakan dosa besar. Karena itu kecerobohan pada azab dan peringatan Allah setara dengan pengabaian pada perintah dan larangan-Nya dan kekurangajaran yang hina akan kekuasaan-Nya. Bagaimana mungkin suatu wujud rendah dan remeh, sekarang berani menentang Tuhan dua dunia. Pengabaian dan ketakpedulian ini adalah dosa besar yang tidak pantas menerima ampunan, kecuali si pendosa bertaubat dan meminta ampunan.
Tampaklah jelas dari diskusi di atas bahwa apakah sebuah dosa dapat dimaafkan ataukah tidak lebih tergantung pada sikap si pelaku dosa, bukannya dosa itu sendiri. Apabila dalam relung batinnya yang paling dalam, pendosa tersebut takut pada Allah, maka ia patut mendapatkan pengampunan. Tetapi jika ia secara sombong tidak gentar pada azab Allah, ia tidak layak mendapatkan kemurahan hati dan ampunan Allah.
Rencana Allah (makar) artinya suatu hukuman mendadak yang menimpa si pelaku dosa, seperti disebutkan dalam kitabullah, Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? (QS al-Qiyamah: 37)
Imla’- Penangguhan
Termasuk rencana Allah adalah ’imla’ (penangguhan [siksa]). Dari masa Allah menciptakan manusia, telah menjadi Sunah Allah bahwa orang yang tak bersyukur dan pendosa tidak akan dihukum atas dosa-dosa mereka dengan seketika. Melainkan mereka diberi penangguhan yang lama. Karena semua orang cenderung berbuat dosa kecuali orang-orang maksum. Apabila setiap orang disiksa atas kesalahan-kesalahan mereka dengan seketika, tak satu orang pun akan bertahan di muka bumi. Allah telah menyatakan di dalam al-Quran, Jika Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatu pun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan….” (QS an-Nahl: 61)
Di samping itu, imla menjadi bukti adanya rahmat Allah bagi orang yang bertakwa. Imla memberi mereka waktu dan kesempatan untuk merenungi dan mengevaluasi (muhasabah) perilaku mereka, menyadari kekeliruan mereka, bertaubat, dan meneguhkan tekad untuk tidak mengulangi dosa-dosa mereka. Kasih sayang Allah, dengan begitu, membantu mereka untuk meraih kebaikan di dunia ini dan di akhirat. Pada sisi lain, kasih Tuhan ini ditunjukkan kepada para pendosa yang tidak bertaubat yang hanya membuat mereka tidak mengindahkan fakta bahwa pada akhirnya mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatan mereka. Mereka terus berbuat satu dosa sesudah dosa yang lain dan ketika pelanggaran mereka mencapai suatu batas, suatu azab tiba-tiba menimpa mereka.
Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh. (QS al-A’raf: 183)
Orang-orang kafir dan para pendosa yang mencapai kesuksesan hidup dan kenyamanan boleh dengan bangga merasakan bahwa kemampuan mereka sudah membawa mereka keberhasilan tetapi pada kenyataannya semua yang mereka dapatkan merupakan sejenis azab Allah dan sebentuk balasan yang dikenal sebagai “makar atau tipu daya Allah.”
Penangguhan bagi Pelaku Kesalahan
Al-Quran mengatakan, Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan. (QS Ali Imran, 3:178)
Imam Ridha berkata, ”Demi Allah, mereka tidak dihukum dengan apa pun yang lebih memedihkan dibanding imla (penangguhan).” (Safinat al-Bihar)
Imam Sajjad telah menyebutkan dalam doa Makarim al-Akhlaq: ”(Ya Allah) panjangkanlah usiaku sepanjang hidupku berisi ketaatan kepada-Mu, adapun jika umurku menjadi gembalaan setan, maka ambillah aku sebelum Engkau murka atau sebelum marah-Mu menguasaiku.”
Istidraj
Istidraj pun termasuk dalam siasat Allah. Kadang-kadang penangguhan yang diberikan oleh Allah juga meliputi suatu karunia berkat baru. Allah melimpahkan anugerah-anugerah-Nya pada orang yang telah berdosa agar ia bisa merasa malu atas dirinya dan membuat perubahan. Alih-alih demikian, orang itu sering mengembangkan kepercayaan dan lebih banyak berbuat dosa secara terang-terangan. Orang malang seperti itu disebutkan dalam ayat al-Quran berikut, Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui.” (QS al-Araf: 182)
Dalam Safinat al-Bihar disebutkan, “Ketika Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang dan ia melakukan suatu dosa, Allah memasukkannya ke dalam berbagai kesulitan sehingga ia bisa menyadari bahwa penyebab kesulitannya itu adalah dosanya sendiri. Ia kemudian bisa bertaubat karenanya (dengan segera). Ketika Allah ingin menghukum seseorang yang berbuat dosa, Dia memberinya bentuk karunia baru sehingga ia mungkin terpukau oleh karunia tersebut dan mengabaikan taubat. Inilah apa Allah maksudkan dalam ayat itu (yang dikutip di atas).”
Istidraj Bearti Lalai untuk Bertaubat
Ketika Imam Jafar Shadiq as ditanya pengertian istidraj, beliau menjawab, “Ketika seseorang berbuat dosa, ia diberi tempo dan karunia baru, maka ketika ia lalai untuk bertaubat, pelan-pelan ia diarahkan ke arah kebinasaan; yang tentang itu ia ia tidak perhatian. Inilah yang dikenal sebagai istidraj dan siasat Allah.” (Wasail asy-Syi’ah)
Diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali as bahwa ia berkata, “Sesungguhnya mereka yang diberi peningkatan di dalam kekayaan dan harta milik oleh Allah, hendaknya tidak memikirkan apa pun kecuali istidraj. Mereka seyogianya tidak gentar akan siasat Allah karena ketenangan mendahului badai.” (Bihar al-Anwar)
Ketidakkhawatiran pada Siasat Allah
Allah memiliki dua macam sifat: Jamaliyah (keindahan) dan Jalaliyah (Keagungan). Contoh sifat Jamaliyah adalah sifat Rahman (Pengasih), Rahim (Penyayang), Karim (Dermawan), Halim (Penyantun), Syakur (Berterima kasih), Ghafur (Pemaaf).
Sementara sifat Jalaliyah adalah seperti al-Jabbar (Perkasa), al-Qahhar (Memaksa), al-Muntaqim (Pendendam), al-Mudzallil (Yang Menghinakan), al-Mutakabbir (Mahasombong) dan asy-Syadid al-Iqab (Mahakeras siksa-Nya). Oleh karena itu, Allah memberitahukan sifat-sifat-Nya dan kemudian mengingatkan siksa-Nya.
Di tempat lain Allah berfirman, Yang Mengampuni dosa dan Menerima tobat lagi keras hukuman-Nya; Yang mempunyai karunia. (QS al-Mukmin: 3)
Demikianlah, Allah adalah Zat yang paling pengasih dari semua pengasih dalam hal ampunan juga yang Paling keras dalam menyiksa.

Filsafat Sendiri

MAHASISWA kita ini melancong keluar negeri. Bukan untuk main-main tentunya. Tetapi untuk melakukan studi banding atas pelajaran-pelajaran yang diterimanya di kampus. Mahasiswa kita ini, entah karena apa, sangat tertarik untuk mempelajari pemikiran para filsuf Barat. Beberapa alasan bisa bisa kita cari. Barangkali karena dia memang terpesona dengan pemikiran Barat, atau karena dia merasa inferior dengan keilmuan bangsanya sendiri. Semoga bukan karena keduanya.
Pertama kali tiba, ia menikmati daerah asing dan berjalan-jalan layaknya seorang turis. Foto kanan-kiri, berdecak kagum setiap kali melihat pemandangan yang selama ini hanya bisa ia nikmati lewat TV. Dengan agak malu, kita harus akui, kelakukan mahasiswa kita ini memang cukup ndeso,
Di sebuah universitas, ia menemui seorang Profesor filsafat. Ia kemukakan tentang ketertarikannya mempelajari pemikiran filsafat Barat.
“Bagus sekali,” jawab Profesor itu. “Tapi kenapa Anda tidak mempelajari filsafat Indonesia? Bukankah itu lebih menarik dan sesuai dengan konteks kehidupan kalian sendiri?”
“Itu dia masalahnya, Prof, ” mahasiswa kita menjawab. “Bangsa kami semula tidak punya masalah genting. Tapi dari Baratlah bangsa kami mendapat banyak masalah: modernisasi, liberalisasi, sekularisasi, kolonialisasi. Maka saya harus mempelajari filsafat Barat untuk mengatasi masalah-masalah brengsek dari bangsa Anda itu, Prof.”

(Si Buta dari Gua Plato, hal.153-154)

Harga Kecintaan pada Ahlulbait as

Seseorang datang mengeluh pada Imam Ali as.

Ia mengadu karena kemiskinannya. Imam menjawab: “Tidak, kamu orang kaya.”
Ia bertanya: “Bagaimana mungkin Ya Imam, sedang aku tidak punya apa-apa”.

Imam(as) berkata: “Kecintaanmu kepada kami Ahlul Bait(as). Maukah kau tukar cintamu dengan seratus dirham?”
Ia menjawab: “Tidak ya Imam.”. “Seribu Dirham?”.
“Tidak ya Imam…”.
“Sepuluh ribu dirham…?”.
“Tidak akan pernah Ya Imam…”.

Imam tersenyum dan berkata: “Lalu, bagaimana mungkin kau berkata kau tidak punya apa-apa ??”.

-Ya Allah Ya Rasul Allah,takkan kami tukar kecintaan ini dengan apa pun hingga akhir hayat kami.
(dari berbagai sumber)

Karl Marx ke Madura

Karl Marx mengunjungi Madura. Ia tertarik dengan kehidupan rakyat di sana. Bagaimana kondisi perekonomian Madura, kesejahteraan masyarakat kecil yang unik di dalamnya. Marx sebenarnya penasaran ingin melihat kaum proletar di sana setelah dibangunnya (jembatan) Suramadu.
Malam pertama di Madura, Marx ingin menikmati sate spesial ala Madura. Pesanan segera datang. Melihat besarnya sate tersebut, Marx terkagum-kagum. Setelah selesai makan, ia bertanya kepada pelayan,”Sate itu dari daging apa tadi? Rasanya kok enak sekali.”
Pelayan menjawab bahwa itu adalah daging sapi yang mati saat bertanding karapan sapi. Mendengar itu, Marx merasa mual perutnya. Tapi karena enak, ia pikir tidak apa-apa.
Esok malamnya, Karl Marx mampir untuk menikmati sate lagi. Tapi kali ini satenya tidak sebesar yang kemarin. Rasanya tidak kalah enak. Namun Marx penasaran mengapa satenya jadi lebih kecil.
“Mas, kenapa sate yang sekarang lebih kecil dari yang kemarin malam?” tanya Marx.
“Oh,” jawab pelayan, “Soalnya dalam karapan hari ini, yang mati adalah penunggangnya.”
(Rif’an Anwar, Si Buta dari Gua Plato,(Kanisius: Yogyakarta, 2011),hal.155.

« Older entries